Raden Fattah alias 靳卟嗯 Jin Bun
Bergelar Senapati Jimbun atau Panembahan Jimbun (lahir: Palembang, 1455; wafat: Demak, 1518) adalah pendiri dan raja Demak pertama dan memerintah tahun 1500-1518. Menurut kronik China dari Kuil Sam Po Kong Semarang, ia memiliki nama Tionghoa yaitu Jin Bun tanpa nama marga di depannya, karena hanya ibunya yang berdarah China.
Jin Bun artinya orang kuat. Nama tersebut identik dengan nama Arabnya "Fattah (Patah)" yang berarti kemenangan. Pada masa pemerintahannya Masjid Agung Demak didirikan, dan kemudian ia dimakamkan di sana.
Mengikuti pakar Belanda Pigeaud dan De Graaf, sejarahwan Australia M. C. Ricklefs menulis bahwa pendiri Demak adalah seorang Tionghoa Muslim bernama Cek Ko-po (Pate Rodin senior). Ricklefs memperkirakan bahwa anaknya adalah orang yang oleh Tomé Piresdalam Suma Oriental-nya dijuluki "Pate Rodim (Adipati/Patih Rodim)", mungkin maksudnya "Badruddin" atau "Kamaruddin" (meninggal sekitar tahun 1504). Putera atau adik Rodim dikenal dengan nama Trenggana (bertahta 1505-1518 dan 1521-1546), pembangun keunggulan Demak atas Jawa.
Kenyataan tokoh Raden Fattah berbenturan dengan tokoh Trenggana, raja Demak ketiga, yang memerintah tahun 1505-1518, kemudian tahun 1521-1546.
Asal-usul Raden Fattah
Terdapat berbagai versi tentang asal-usul pendiri Kerajan Demak.
Menurut Babad Tanah Jawi, Raden Fattah adalah putra Brawijaya raja terakhir Majapahit (versi babad) dari seorang selir China. Selir Cina ini puteri dari Kyai Batong (alias Tan Go Hwat). Karena Ratu Dwarawati sang permaisuri yang berasal dari Campa merasa cemburu, Brawijaya terpaksa memberikan selir China kepada putra sulungnya, yaitu Arya Damar bupati Palembang. Setelah melahirkan Raden Patah, putri China dinikahi Arya Damar (alias Swan Liong), melahirkan Raden Kusen (alias Kin San).
Menurut Purwaka Caruban Nagari, nama asli selir China adalah Siu Ban Ci, putri Tan Go Hwat dan Siu Te Yo dari Gresik. Tan Go Hwat merupakan seorang saudagar dan juga ulama bergelar Syaikh Bantong (alias Kyai Batong).
Menurut Suma Oriental karya Tome Pires, pendiri Demak bernama Pate Rodin, cucu seorang masyarakat kelas rendah di Gresik.
Menurut kronik China dari kuil Sam Po Kong, nama panggilan waktu Raden Patah masih muda adalah Jin Bun, putra Kung-ta-bu-mi (alias Bhre Kertabhumi alias Brawijaya V) raja Majapahit (versi Pararaton) dari selir China. Kemudian selir China diberikan kepada seorang berdarah setengah China bernama Swan Liong di Palembang. Swan Liong merupakan putra Yang-wi-si-sa (alias Hyang Purwawisesaatau Brawijaya III) dari seorang selir Cina. Dari perkawinan kedua itu lahir Kin San (alias Raden Kusen).
Kronik China ini memberitakan tahun kelahiran Jin Bun adalah 1455. Mungkin Raden Fattah lahir saat Bhre Kertabhumi belum menjadi raja (memerintah tahun 1474-1478). Menurut Slamet Muljana (2005), Babad Tanah Jawi teledor dalam mengidentifikasi Brawijaya sebagai ayah Raden Fattah sekaligus ayah Arya Damar, yang lebih tepat isi naskah kronik China Sam Po Kong terkesan lebih masuk akal bahwa ayah Swan Liong (alias Arya Damar) adalah Kung-ta-bu-mi alias Brawijaya III, berbeda dengan ayah Jin Bun (alias Raden Fattah) yaitu Yang-wi-si-sa aliasBrawijaya V.
Menurut Sejarah Banten, Pendiri Demak bernama Cu Cu (Gan Eng Wan?), putra (atau bawahan) mantan perdana menteri China (Haji Gan Eng Cu?) yang pindah ke Jawa Timur. Cu Cu mengabdi ke Majapahit dan berjasa menumpas pemberontakan Arya Dilah bupatiPalembang. Berita ini cukup aneh karena dalam Babad Tanah Jawi, Arya Dilah adalah nama lain Arya Damar, ayah angkat Raden Fattah sendiri. Selanjutnya, atas jasa-jasanya, Cu Cu menjadi menantu raja Majapahit dan dijadikan bupati Demak bergelar Arya Sumangsang (Aria Suganda?).
Meskipun terdapat berbagai versi, namun diceritakan bahwa pendiri Demak memiliki hubungan dengan Majapahit, China, Gresik, dan Palembang.
Pendirian Demak
Babad Tanah Jawi menyebutkan, Raden Patah menolak menggantikan Arya Damar menjadi bupati Palembang. Ia kabur ke pulau Jawaditemani Raden Kusen. Sesampainya di Jawa, keduanya berguru pada Sunan Ampel di Surabaya. Raden Kusen kemudian mengabdi ke Majapahit, sedangkan Raden Fattah pindah ke Jawa Tengah membuka hutan Gelagahwangi menjadi sebuah pesantren.
Makin lama Pesantren Gelagahwangi semakin maju. Brawijaya (alias Bhre Kertabhumi) di Majapahit khawatir kalau Raden Fattah berniat memberontak. Raden Kusen yang kala itu sudah diangkat menjadi Adipati Terung diperintah untuk memanggil Raden Fattah.
Raden Kusen menghadapkan Raden Fattah ke Majapahit. Brawijaya (diidentifikasi sebagai Brawijaya V) merasa terkesan dan akhirnya mau mengakui Raden Patah sebagai putranya. Raden Patah pun diangkat sebagai bupati, sedangkan Gelagahwangi diganti nama menjadi Demak, dengan ibu kota bernama Bintara.
Menurut kronik China, Jin Bun pindah dari Surabaya ke Demak tahun 1475. Kemudian ia menaklukkan Semarang tahun 1477 sebagai bawahan Demak. Hal itu membuat Kung-ta-bu-mi (alias Bhre Kertabhumi) di Majapahit resah. Namun, berkat bujukan Bong Swi Hoo (alias Sunan Ampel), Kung-ta-bu-mi bersedia mengakui Jin Bun sebagai anak, dan meresmikan kedudukannya sebagai bupati di Bing-to-lo (ejaan China untuk Bintoro).
Konflik Demak dan Majapahit pada Masa Raden Fatah
Versi Perang antara Demak dan Majapahit diberitakan dalam naskah babad dan serat, terutama Babad Tanah Jawi dan Serat Kanda. Dikisahkan, Sunan Ampel melarang Raden Patah memberontak pada Majapahit karena meskipun berbeda agama, Brawijaya tetaplah ayah Raden Patah. Namun sepeninggal Sunan Ampel, Raden Patah tetap menyerang Majapahit. Brawijaya moksa dalam serangan itu. Untuk menetralisasi pengaruh agama lama, Sunan Giri menduduki takhta Majapahit selama 40 hari.
Versi Kronik China dari kuil Sam Po Kong juga memberitakan adanya perang antara Jin Bun melawan Kung-ta-bu-mi tahun 1478. Perang terjadi setelah kematian Bong Swi Hoo (alias Sunan Ampel). Jin Bun menggempur ibu kota Majapahit. Kung-ta-bu-mi alias Bhre Kertabhumi ditangkap dan dipindahkan ke Demak secara hormat. Sejak itu, Majapahit menjadi bawahan Demak dengan dipimpin seorang China muslim bernama Nyoo Lay Wa sebagai bupati.
Versi Prof. Dr. N. J. Krom dalam buku “Javaansche Geschiedenis” dan Prof. Moh. Yamin dalam buku “Gajah Mada” mengatakan bahwa bukanlah Demak yg menyerang Majapahit pada masa Prabu Brawijaya V, tetapi adalah Prabu Girindrawardhana.
Kemudian setelah serangan Girindrawardhana atas Majapahit pada tahun 1478 M, Girindrawardhana kemudian mengangkat dirinya menjadi raja Majapahit bergelar Prabu Brawijaya VI, Kekuasaan Girindrawardhana tidak begitu lama, karena Patihnya melakukan kudeta dan mengangkat dirinya sebagai Prabu Brawijaya VII.
Perang antara Demak dan Majapahit terjadi pada masa pemerintahan Prabu Brawijaya VII bukan pada masa Raden Fattah dan Prabu Brawijaya V.
Pada tahun 1485 Nyoo Lay Wa mati karena pemberontakan kaum pribumi. Maka, Jin Bun mengangkat seorang pribumi sebagai bupati baru bernama Pa-bu-ta-la, yang juga menantu Kung-ta-bu-mi.
Tokoh Pa-bu-ta-la ini identik dengan Prabu Natha Girindrawardhana alias Dyah Ranawijaya yang menerbitkan prasasti Jiyu tahun 1486 dan mengaku sebagai penguasa Majapahit, Janggala, dan Kadiri.
Selain itu, Dyah Ranawijaya juga mengeluarkan prasasti Petak yang berkisah tentang perang melawan Majapahit. Berita ini melahirkan pendapat kalau Majapahit runtuh tahun 1478 bukan karena serangan Demak, melainkan karena serangan keluarga Girindrawardhana. (*)